Featured

YOUR AMP = YOUR FASHION STATEMENT

Sekilas AmplifierYup, that's true. Amplifier adalah instrument yang paling lama berdiri di atas panggung, jauh lebih lama dari pada musisinya sendiri. Amplifier itu juga adalah fashion statement karena image player, karakter sound dan karakter bandnya sendiri bisa ditunjukan dari amplifier. Malahan, amplifier juga berfungsi sebagai 1 hal yang jarang orang "notice"... yaitu sebagai dekorasi panggung...hehehhe.

Yngwie J. Malmsteen, gitaris speed metal tercepat ketika manggung bisa kita lihat berdiri didepan speaker Marshall sampai 10 buah... sering juga disebut "wall of marshalls". Padahal dari sekian banyak, mungkin hanya 3 yang berbunyi. Jimi Hendrix juga bisa kita lihat ketika manggung, dibelakangnya berdiri sekitar 4 - 5 ampli Marshall Plexi. The Beatles bisa kita lihat berdiri di sebelah VOX AC30, Bahkan Brian May bisa kita lihat berdiri dihadapan 9 ampli VOX AC30.

Yang lucu, banyak juga dari player itu hanya membawa case speaker marshall tanpa isi apa-apa hanya untuk dekorasi. 3 buah Marshall Plexi dengan volume crank-up full sudah membuat kuping kita pengang dan kalau dilakukan dengan waktu yang lama, bisa berbahaya. Kebayang kalo 9 ampli dipasang full depan kuping kita...yang bener ajeeee...

Mengutip kata-kata Eka The Brandals "panggung adalah battle ground sebuah band", semua karakter, personality dan musik dari suatu musisi dibuktikan lewat stage performance. Sekarang kalau kita melakukan ceksound, lalu kita naik ke panggung dengan membawa peralatan, di panggung sudah berdiri hardcase amplifier Mesa Boogie dual rectifier dikunci gembok dengan label "SERINGAI". Secara tidak langsung, ampli itu meng-intimidasi musisi lain seolah-olah berkata "hey, Seringai is here...watch out!". Seperti juga kalau kita melihat 3 ampli Orange berdiri diatas panggung, kita bisa tahu kalau NIDJI akan bermain dipanggung yang sama. Seolah genderang perang sudah ditabuh dan amplifier adalah meriam besar.

Selain itu juga, ada indikasi kalau band yang menaruh ampli diatas panggung dan meninggalkannya disana adalah band yang "cukup besar" atau setidaknya memiliki beberapa orang crew yang bisa membantu mengangkat ampli itu. Dengan begitu, prestige dari band itu juga lumayan terangkat dan tidak bisa dianggap "remeh" oleh panitia acara.

Memang, image itu penting bagi sebuah band dan amplifier adalah "bendera pusaka" yang bisa meng-intimidasi lawan.
Read more

RIWAYAT KERONCONG (Bagian III)


3 .Dari Indonesia ke Mancanegara

KERONCONG ditinggalkan masyarakat? Ternyata tidak.

Minat mereka terhadap jenis musik ini tetap besar. Menjelang akhir tahun 2005, Festival Keroncong Yogyakarta 2005, yang berlangsung hari Senen, 19 Desember di Gedung Societeit, Taman Budaya Yogyakarta, dipadati ratusan pengunjung.

Gedung peninggalan Belanda itu disesaki masyarakat yang ikut serta, maupun yang sekadar menyaksikan festival musik yang konon berasal dari Portugis itu. 300 lebih kursi yang tersedia terisi penuh. Penonton terus saja berdatangan walau ajang unjuk kebolehan bermain musik dan bernyanyi keroncong itu sudah dimulai.

Mereka yang baru tiba tidak bisa menyembunyikan rasa keterkejutannya. Begitu tiba di depan pintu masuk tempat pertunjukan, ratusan kursi sudah terisi dan puluhan manusia telah berdesakan di bagian belakang, tidak kebagian tempat duduk.

Untung panitia bertindak sigap. Begitu kelompok dengan nomor undian dua usai pentas, panitia mengajak puluhan penonton yang berdiri di barisan belakang dan di lajur antara kursi-kursi, untuk duduk persis di depan panggung alias lesehan. Puluhan orang tanpa sungkan menuruti ajakan panitia dan duduk berdesakan.

Apik, apik, pas nadanya. Ini baru mantap, ujar pengunjung yang berdiri di bagian belakang tempat pertunjukan. Ungkapan itu menunjukan asyiknya mereka menikmati sajian musik keroncong malam itu.

Pandangan mereka berbinar disertai senyuman. Asap rokok, serta panasnya suasana tempat pertunjukan akibat sesaknya penonton, tidak membuat mereka beranjak dari tempatnya masing-masing selama peserta festival beraksi menunjukan kebolehannya.

Tidak ada yang menduga sebelumnya, termasuk panitia, bahwa Festival Keroncong Yogyakarta 2005, yang sempat vakum sejak 1997 menarik begitu banyak anggota masyarakat. Benar-benar di luar dugaan. Semangat untuk bermain musik dan bernyanyi keroncong ternyata tetap menyala.

Yang juga menarik, 10 kelompok peserta festival didominasi pemusik dan penyanyi berusia muda. Hanya kelompok orkes keroncong (OK) Gita Winastu saja pemainnya berusia lanjut. Sedangkan OK Tresna Wara, Renonce, Kharisma, Gissiga, KBK 6,5, Rewo Rewo, Irama Candra, Bethesda Nada dan Citra Rhapsodia terdiri dari kaum muda, atau campuran antara tua-muda. OK Tresna Wara terpilih sebagai juara pertama, OK Citra Rhapsodia (runner-up), OK Kharisma (juara III), OK Gissiga (juara IV) dan OK Bethesda Nada (juara V). Selain tropi, mereka memperoleh dan Rp 3,5 juta sebagai dana pembinaan.

Drs Singgih Sanjaya, musisi sekaligus penyanyi keroncong kawakan, yang menjadi salah seorang anggota dewan juri bersama dua praktisi keroncong, Sri Hartati dan Andi-menyatakan optimismenya, melihat inovasi-inovasi dari peserta festival. Memang inovasi itu ada yang pas, baik dari sisi estetika maupun musikalitas, ada juga yang terkesan dipaksakan. Tetapi, semua itu tetap positif bagi perkembangan musik keroncong itu sendiri.

Keinginan membawa musik keroncong kembali meramaikan panggung pertunjukan menunjukan titik terang melalui Festival Keroncong Yogyakarta 2005. Selain bagai pelepas dahaga, ajang itu ternyata juga telah menghadirkan semangat baru untuk perkembangan musik keroncong ke arah yang lebih bervariasi dan menghibur, tanpa mengurangi esensi musiknya.

Pelestarian keroncong memang harus dikembalikan ke tengah-tengah masyarakat hingga terbuka ruang apresiasi seluas-luasnya. Keroncong jangan hanya dikemas dalam pertunjukan eksklusif, karena masyarakat awam yang biasanya berapresiasi, sesuai dengan ciri keroncong sebagai seni kerakyatan yang mudah berubah mengikuti situasi dan berkembang seiring dinamika budaya masyarakat.

Hal ini diungkapkan pemusik FX Sutopo, dalam dialog musik keroncong di Taman Budaya Yogyakarta, 23 Desember 2005, 4 hari setelah festival berlangsung. Dialog itu memang merupakan kelanjutan dari Festival Keroncong Yogyakarta 2005.

Sutopo melanjutkan bahwa sebagai sebuah seni kerakyatan keroncong harus didekatkan dengan masyarakat. Sehingga, bisa muncul kembali di tengah kehidupan orang banyak seperti pesta pernikahan, khitanan atau panen padi. Namun demikian keroncong bisa juga dikembangkan melalui ajang non-lomba, supaya peserta tidak terbebani dengan berbagai syarat. Sehinga ajang itu bisa menjadi ruang kreatif yang luas, berproses secara alami tanpa beban persyaratan tertentu sebagaimana sebuah perlombaan.

Keroncong sebenarnya tidak pernah redup dalam kehidupan masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kalau di Yogyakarta, Solo, Semarang dan kota-kota Jawa Tengah lainnya denyut keroncong tetap terasa, walaupun kadang bergelora kadang lesu manja, begitu pula di Jawa Timur.

Sebuah komunitas pecinta keroncong berdiri bulan Oktober 2004 di Malang Pamori (Paguyuban Artis dan Musisi Orkes Keroncong Indonesia) Malang Raya, yang merupakan cabang dari Pamori Jawa Timur. Yang menarik Dan membanggakan adalah, Pamori didukung Rektor Unibraw (Universitas Brawijaya) Prof Dr Ir Bambang Guritno dan semangat Prof Dr Ir Yogi Sugito, yang sejak 1996 membidani parade musik keroncong di perguruan tingginya. Pamori Malang Raya diketuai Nur Basuki, yang juga adalah dosen Fakultas Pertanian Unibraw.

Jadi tidak heran jika hampir setiap Senin sekitar pukul 20.00 - 23.00, rumah besar Prof Dr Ir Yogi Sugito di Jalan Karet, Malang, terdengar sayup-sayup musik dan syair lagu keroncong. Suara musik itu datang dari lantai 2 yang memang khusus disediakan sebagai posko Pamori Malang Raya. Di situlah sekitar 15 anggotanya mengasah keahlian memainkan alat-alat musik khas keroncong seperti ukulele, biola, cello, gitar akustik dan seruling. Tak ketinggalan para para penyanyi juga melatih vokal bersama-sama.

"When marimba rhythm start to play, dance with me, make me sway. Like the lazy ocean, hugh to shore hold me close, sway me shore,......", syair lagu Sway itu dinyanyikan salah satu penyanyi keroncong, Retno Suntari yang tergabung dalam Pamori Malang. Retno yang tak pernah lepas dari bunga melati di rambutnya itu menyanyikan lagu dengan riangnya. Diikuti Yogi Sugito menyanyikan My Way, Fatwa Pujangga, Pepito, dan lagunya

Setelah Pamori Jatim berediri, anggota-anggotanya langsung membentuk sektor-sektor perwakilan Pamori di sejumlah daerah seperti Kepanjen, Singosari, Turen, dan sejumlah wilayah yang siap dikembangkan musik keroncong. Harapan menjadikan musik keroncong kembali jaya seperti tahun 1940-1950-an di Malang sangat diharapkan keaktifan sekitar 12 grup orkes keroncong yang masih aktif, antara lain Gita Puspita, Gita Kusuma, Candra Kirana, Ersa Karsa Nadana dan Tirta Melody.

Harapan menghidupkan kembali keroncong dari generasi muda tetap bisa diandalkan, misalnya Pipin yang tergabung OK Irama Kelana yang dibentuk awal tahun 2004 di Solo. Pemuda berusia 30 tahun ini membawakan lagu slow-rock yang populer lewat suara penyanyi rock Achmad Albar dan Nicky Astria, Panggung Sandiwara. Tapi Pipin membawakannya dengan cengkok keroncong. Demikian juga lagu lainnya, Tragedi Buah Apel, Andaikan Kau Datang dan Gubahanku.

Lagu-lagu yang sebenarnya bukan lagu keroncong itu, ternyata tetap mengalir indah dan enak di dengar dalam iringan musik keroncong. Pipin juga memperlihatkan bahwa dia bisa membawakan lagu-lagu keroncong, stambul, dan langgam seperti Paman Tani, Senandung Tani, Dewa-Dewi, Lingsir Wengi, Sentir Lengo Potro dan Slenco.

Bermula dari keprihatinan Mbong Muryadi, mantan lurah Gajahan, Solo yang bermukim di Perumnas Palur, Kabupaten Sukoharjo, yang menyaksikan anak muda di daerahnya bermusik dengan kompak dan bagus di tepi jalan, dikumpulkan anak-anak muda itu OK Irama Kelana. Sebelumnya dia pernah mendirikan orkes keroncong semasa masih menjadi lurah. Sekitar 20 pemusik dan penyanyi dari segala usia, kebanyakan anak muda, tergabung dalam OK Irama Kelana. Mereka sudah tampil di RRI Solo, televisi serta berbagai perhelatan lainnya.

Keroncong tidak hanya bergema di atas panggung. Dalam industri rekaman juga sanggup berhadapan dengan jenis musik lain yang selama ini menguasai pasar. Lagi-lagi peranan anak muda di sini kembali menjadi siknifikan.

Musik asick, chonk melodic, seru anak-anak muda yang tergabung dalam grup musik Kornchonk Chaos.. Mereka memainkan musik dengan alat musik keroncong seperti ukulele cak, ukulele cuk, kontra bas, tapi bukan keroncong murni, itulah sebabnya dipelesetkan menjadi kornchonk.

Anggota Kornchonk Chaos yang terdiri dari mahasiswa ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta ini menggabungkan keroncong dengan rock, hip hop, dangdut, dan heavy metal. Keroncong menjadi pilihan dengan pertimbangan untuk mengingatkan generasinya pada budaya sendiri, ketika terbentuk pada bulan September 2001.

Ternyata mereka tidak hanya bisa beraksi di atas panggung kampus, juga melangkah ke studio rekaman dan menghasilkan album berjudul Ini Baru Musik Asick. Untuk semua itu mereka menggunakan dana dari kantong masing-masing anggota. Dari mereka yang tampaknya masih dalam taraf apresiatif dan belum berpikir secara komersial inilah sebenarnya sering muncul karya-karya krestif yang bisa menjadi tonggak di kemudian hari.

Jelas yang di lakukan Kornchonk Chaos tidak segegap-gempita Didi Kempot tahun 2002. "Terkintil-kintil, Cintaku Terkintil-kintil, Tresnaku karo kowe ora bakal tak bakal cuil-cuil," itulah lagu campursari ciptaan Didi Kempot, lelaki kelahiran Solo, 31 Desember 1966, yang menghabiskan masa kecil di Ngawi, Jawa Timur. Anak seniman panggung Haranto alias Ranto Edi Gudel itu tumbuh ketika dangdut menjadi bagian dari realitas bunyi-bunyian sehari-hari dalam masyarakat Jawa.

Dangdut dimainkan dalam hajatan perkawinan sampai tujuh-belasan. Sebelumnya posisi itu dipegang keroncong, langgam Jawa, yang tidak lagi dominan sebagai bahan dengaran sehari-hari. Begitu pula karawitan yang tak banyak disentuh kaum muda kebanyakan.

Pemusik muda seperti Didi Kempot tergagap ketika berbicara di jagat pop. Mereka tidak seperti Rhoma Irama menemukan format dangdut, Koes Plus dan Rinto Harahap dengan pop, atau God Bless dan Nicky Astria dengan rock. Grup dan penyanyi yang kemudian berpengaruh di blantika industri rekaman ketika generasi Didi baru tumbuh.

Tanpa sadar Didi menggunakan medium keroncong, dangdut dan gamelan. Ketiga unsur yang menjadi landasannya dalam campursari yang kemudian digarapnya, menyerap juga ke lagu-lagu mandarin, rock dan latin. Campursarinya mengambil elemen musik rock, kemudian dicampur keroncong. Rock dalam campursari Didi memang cuma numpang lewat. Barangkali dengan pertimbangan orang Jawa belum bisa terima suara yang terlalu keras. Ternyata Didi, seperti, Terkintil Kintil, Stasiun Balapan dan yang lainnya diterima luas. Tidak hanya di Jawa Tengah dan Jawa Timur, atau di tempat lain atau komunitas berbahasa Jawa di Suriname.

Didi memang bukan yang pertama menggarap campursari. Gabungan dua jenis musik atau lebih musik sudah digunakan setidaknya pada tahun 1960-an. Almarhum Ki Nartosabdo pernah merespons dangdut dengan menciptakan gending Ojo Dipleroki. Karawitan Condong Raos yang dipimpin dalang kondang itu menggunakan cengkok dangdut yang terasa lewat permainan kendang Nartosabdo.

Waljinah dengan orkes Bintang Surakarta berikut pencipta lagu Anjar Ani, tanpa berpretensi untuk bercampursari, di awal 1970-an telah memadu langgam Jawa dengan musik pop. Mereka menggunakan organ Farfisa dan menyandingkannya dengan instrumen yang lazim digunakan dalam keroncong seperti ukulele dan cello.

Berkembangnya musik campursari, menurut Waldjinah, adalah salah satu hasil perkembangan keroncong. Baginya, campursari bukanlah jenis musik yang menyisihkan keberadaan keroncong, tetapi justru memperkaya. Dia juga berharap, pemilihan bintang radio untuk jenis musik keroncong diadakan kembali, akan sangat membantu kejayaan keroncong.

Waljinah melanglang buana dengan Walang Kekek-nya, "Walang kekek mabur neng sawah, Mabur maneh mencok wit jati, Nduwe bojo enom atine susah, Bojo tuwek watuke ngekek kesel mijeti (Walang kekek terbang di sawah, Terbang lagi hinggap di pohon jati, Punya suami muda di hati susah, Suami tua batuknya menggigil capai memijat)

Campursari adalah formula sinkretisme, Jawa dalam musik. Benci Tapi Rindu karya Rinto Harahap menjadi Sengit Ananging Kangen oleh Koko Thole. Campursari menarik karena mampu tumbuh sebagai industri. Geliat ini tentu saja mengekspresikan bahwa keroncong itu sebenarnya luwes dan bisa bergaul dengan jenis musik lainnya.

Pemusik Yogyakarta Djaduk Ferianto bersama kelompoknya Musik Katebe (Kelompok Taman Budaya) Yogyakarta juga tidak mau ketinggalan, dia meluncurkan lagu-lagu keroncong kreatif, Model dan Ngetrend yang diproduksi PT Gema Nada Pertiwi Jakarta tahun 1999.

Kalau selama ini ada yang disebut sebagai langkah pembaruan dalam musik keroncong, banyak diantaranya adalah hanya lagu pop yang dikeroncongkan.

Sedangkan apa yang disuguhkan Model dan Ngetrend terasa roh musik keroncongnya, diantara elemen musik jazz, dangdut dan rock yang menjadi campurannya.

Usaha Djaduk tidak berhenti sampai di Musik Katebe saja, tahun 2002 dia membentuk Orkes Sinten Remen, yang tampil Graha Bhakti Budaya TIM (Taman Ismail Marzuki), 5 Juli 2002 dengan judul Pertoendjoekan Hiboeran. Penonoton yang menjejali 900 kursi bergeming selama dua setengah jam. Di luar pintu masuk gedung pertunjukan, penonton disodori penawaran kaset Orkes Sinten Remen yang materi lagunya dijadikan bahan baku utama pertunjukan di dalam gedung.

Jelas konsep musiknya adalah keroncong. Hanya saja Djaduk memasukkan unsur-unsur irama musik lain yang telah akrab dengan telinga anak muda, yakni musik reggae, jazz, country, juga samba. Kekayaan tetabuhan keroncong seperti keroncong stambul, keroncong langgam, keroncong moresko dan keroncong tugu dalam Orkes Sinten Remen unsur-unsurnya menjadi dasar utama. Walaupun yang kedengaran dominan musik jaman sekarang yang dikenal anak muda. Di tengah pendekatan country, reggae, dan jazz, dimainkan dengan alat musik pendukung seperti kendang dan drum, identitas keroncong tetap nyata kehadirannya.

Sinten Remen memang kemudian menjadi funky, berdarah anak muda, cool, smart bersama Gareng, Petruk, Bagong dan keroncong. Kalau selama ini keroncong di RRI Yogyakarta untuk pendengar usia tua, diputar di waktu siang yang sedang terik atau di tengah malam yang dingin, Sinten Remen justru memperoleh dukungan rokok Djarum 76 beraksi di acara televisi Pasar Rakyat.

Tentang idenya yang tidak orisinal dan mengulangi apa yang pernah dilakukan tahun 1970-an oleh OM (Orkes Madun) PSP (Pancaran Sinar Petromaks), Djaduk menjawab dengan santai, "Memang harus kami akui kami mengambil PSP dan Jamrud, tidak meniru melainkan untuk referensi. Sebagai referensi kami juga mempelajari penyanyi pop Katon Bagaskara, grup Sheila on 7, penyanyi Agnes Monica, pencipta lagu Papa T Bob, penyanyi anak-anak Sherina dan Joshua".

Intinya, apa atau siapa sih yang tidak saling mempengaruhi dalam kesenian?

Keberlanjutan musik keroncong memang perlu dilakukan dengan mengadakan pendekatan pada musik yang sesuai dengan zamannya. Salah satunya adalah dengan memasukkan unsur musik lain yang digemari generasi muda saat ini.

Pendekatan yang dilakukan Hetty Koes Endang selama ini adalah mengkroncongkan lagu yang sedang populer. Dengan cara itu dia dianggap sebagai ratu-keroncong di Malaysia dan Jepang. Kaset keroncongnya laris dan dengan honor yang menggiurkan penyanyi lainnya, setiap tahun diundang melintas batas menghibur penggemarnya di negara-negara itu.

Hetty adalah penyanyi Indonesia yang berpenghasilan paling banyak lewat suaranya. Pada tahun 1990, dia mampu mengumpulkan penghasilan Rp 120 juta / bulan hanya dari atas panggung (Kompas, 19 Agustus 8 1990). Sementara menurut majalah Jakarta Jakarta (No 430, Oktober 1994) untuk satu kali naik ke pentas, tarif Hetty tidak kurang dari 35.000 dollar Malaysia atau Rp 28 juta (berdasarkan kurs waktu itu). Tentu saja semua itu tidak terlepas dari lagu-lagu keroncong yang dibawakannya.

Sampai akhir tahun 2005, Hetty yang berangkat sebagai penyanyi pop justru diakui eksistensinya sebagai penyanyi keroncong kembali mengkroncongkan lagu yang sedang populer, yaitu Ada Apa Denganmu. Lagu dari grup yang sedang populer Peterpan itu, kaset popnya terjual sampai 2 juta keping.

Berkat keroncong, 29 Juli 1996 Hetty menerima penghargaan Citra Adhikarsa Budaya, 24 tahun setelah penghargaan yang pertama diterimanya sebagai juara Festival Lagu Pop Remaja 1972 di Bandung. Berkat keroncong Hetty tampil di berbagai event musik di Jepang, Hongkong, Cina daratan dan Malaysia. Sejak tahun 1994 penampilannya sudah diproduksi saluran televisi khusus musik MTV, televisi Jepang dan RRC.

Kalau di Jepang Bengawan Solo tidak pernah ketinggalan dibawakan Hetty, sementara di Shanghai lagu yang disukai adalah Dayung Sampan. Hingga 2005, Hetty telah merekam sekitar 150 lagu dalam irama keroncong yang diedarkan puluhan judul kaset dan CD. Pony Canyon yang berkantor di Singapura khusus menangani rekaman lagu-lagu keroncong Hetty di luar Indonesia.

Musik keroncong sering memperoleh perhatian dari musisi dan industri rekaman musik mancanegara. Mereka menilai keroncong punya nilai lebih sebagai musik Indonesia. Musisi Eugene Bick dari Family Man Indianapolis . Amerika Serikat pada tahun 1996 sempat bermaksud memproduksi keroncong untuk konsumsi penggemar musik di negerinya.

Bick menjelaskan, masyarakat Amerika amat mendambakan bentuk-bentuk kesenian yang punya keunikan, keroncong selain mengambil bentuk musik Barat yang komunikatif juga menyajikan harmoni yang khas Timur. Terutama unsur cengkok dalam musik keroncong merupakan sesuatu yang tak terdapat dalam musik Barat.

Tanpa menggunakan kata musik, keroncong sudah cukup jelas mewakili bahwa inilah musik artistik penduduk kepulauan rumpun Melayu bernama Indonesia, dengan pola ritme gitar pengiring, ukulele, cello yang dipetik merupakan ciri khas gamelan dan musik gendang Melayu. Falsafah gamelan Bali, Jawa, Sunda dan gendang Melayu jelas dianut keroncong. Biola yang membawakan tema lagu, diikuti instrumen lainnya yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya melalui adaptasi naluri serta timbang rasa, yang tidak lazim dalam musik Barat.

Itulah kekuatan keroncong yang sekarang menjadi made in Indonesia dan dikagumi dunia internasional karena berpegang teguh pada kaidah-kaidah adiluhung mempertahankan keaslian estetika musikalitasnya.
Read more

RIWAYAT KERONCONG (Bagian II)


2.Dari Tugu ke Gunung Kidul …

SELAIN musik keroncong, warga Kampung Portugis di Kelurahan Tugu, tidak merasakan hal khusus yang membedakan mereka dari warga lainnya. Kampung Tugu disebut sebagai tempat lahirnya musik keroncong, tapi tidak ada seorang pun yang tahu persis dari mana istilah musik itu berasal.

Banyak versi tentang istilah keroncong. Salah satunya adalah gelang keroncong, yaitu lima hingga sepuluh gelang yang dikenakan di lengan kaum hawa. Jika lengannya berlenggang ketika berjalan, gelang-gelang itu bersentuhan dan menimbulkan suara crong…crong….crong.

Sebutan kroncong, juga dikatakan berasal dari rangakaian gelang yang terdiri dari tiga ukuran yang selain dipergunakan sebagai perhiasan biasa dan perhiasan tari, juga perhiasan kuda yang menarik delman atau andong. Gelang yang kemudian disebut gelang keroncong itu menimbulkan tiga suara sesuai dengan ukurannya:cring…cring…cring (kecil), crung …crung… crung (sedang) dan crong …crong… crong (besar).

Pemeran karakter wayang orang juga mengenakan gelang keroncong, sebagaimana yang bisa terlihat dalam lukisan wayang kulit, di pergelangan tangan dan kakinya. Ada juga teh keroncong, yang disajikan dengan sebuah gelas atau cangkir. Teh yang sudah berada dalam gelas atau cangkir diseduh dengan air panas, lalu diihirup selagi hangat, semakin sedikit air yang tersisa teh menjadi lebih kental dan sepet, semakin nikmat. Teh keroncong ini juga dikenal sebagai teh-tubruk

Kemudian nasi keroncong, yang sekarang kita kenal sebagai nasi liwet, karena cara masaknya yang sama. Atau yang cukup populer, perut keroncongan. Pada tahun 1995 sempat ramai tentang istilah keroncong.

Iklan televisi Gold Star menggunakan kalimat Soundmax, suaranya metal harganya keroncong di harian Kompas, 2 September 1995. Kalimat itu diartikan beberapa pembaca menjadi Suaranya hebat, harganya murah, sehingga mengundang polemik.

Ada yang menyebutkan bahwa kalimat itu kreatif dan mengartinya Soundmax, suaranya keras harganya lembut. Tapi ada lain mengatakan iklan itu menghina musik keroncong sebagai sesuatu yang murah. Namun dengan tangkas, Ricky Subrata, President Director PT Komunika Cergas Ilhami, produsen televisi itu, menangkis dengan suratnya tertanggal 11 September 1995:

"Melalui surat ini kami ingin menjelaskan sekaligus menyelesaikan masalah kesalah-pahaman penafsiran iklan tv Soundmax (GoldStar), sebagai berikut: 1. Kami tidak pernah bermaksud merendahkan musik keroncong. 2. Dialog dalam iklan Soundmax yang berbunyi: "Soundmax... suaranya metal, harganya keroncong", adalah sebuah analogi yang biasa dipergunakan dalam teknik komunikasi periklanan, agar pesan yang ingin disampaikan dapat dengan cepat menarik perhatian, segar dan mudah diingat. Makna sebenarnya dari dialog tersebut, adalah: Soundmax suaranya dahsyat, harganya lembut dan bisa diterima oleh berbagai lapisan masyarakat, seperti musik keroncong. 3. Namun, agar kesalah-pahaman ini tidak berlarut-larut dan sekaligus memperlihatkan respek kami terhadap musik keroncong, kami telah mengambil inisiatif mengganti dialog tersebut menjadi:"Soundmax... suaranya metal, harganya bagus, lho...". Dengan demikian, kesalah-pahaman ini telah selesai."

Asal-muasal istilah keroncong memang masih terus bergulir. Tapi yang pasti ukulele, gitar kecil yang panjangnya sekitar 65 sentimeter (leher/hals 35 sentimeter, badan/corpus, 30 sentimeter), disebut juga sebagai alat musik keroncong. Jika seorang memainkan alat musik itu, disebut sedang main keroncong. Maksudnya adalah dia sedang memainkan alat musik keroncong. Namun pengertiannya lama-kelamaan menjadi dia memainkan musik keroncong.

Ukulele yang dibawa bangsa Portugis kita sebut juga ,em>cuk, krung atau kencrung. Jika dimainkan, alat musik berdawai 4 ini memang mengeluarkan suara crong….crong….crong. Dugaan kuat bahwa dari suara ukulele inilah sebenarnya lahir istilah keroncong.

Prana Abrahams yang pada tahun 2006 berusia 77 tahun dan Robby Sowakeluwakan, 55 tahun, mengatakan bahwa keroncong lahir karena kebutuhan hiburan warga Kampung Tugu.

Waktu nenek moyangnya pertama bermukim di kawasan Cilincing, belum ada gramafon, radio, apalagi tape atau televisi. Satu-satunya cara bagi warga untuk melepas lelah adalah dengan bertutur cerita sambil memainkan alat musik yang mereka miliki, yaitu ukulele. Gereja pun belum memiliki orgel, jadi kalau ada kebaktian diiringi musik keroncong.

Prana inilah yang mewarisi tradisi turun-temurun membuat ukulele dan menjual kerajinan tangan itu ke toko Thio Tek Hong di Pasar Baru. Sebuah ukulele yang dibuat dari kayu bulat itu harganya Rp 60.000 - Rp 70.000.- (enam puluh ribu - tujuh puluh ribu Rupiah) pada tahun 2005. Dulu dawai ukulele dibuat dari urat kucing Anggora, sekarang menggunakan senar pancing.

Sebelumnya juga dikenal Leonidas Salomon. Laki-laki kelahiran 10 November 1904 itu membuat alat musik keroncong Tugu khusus untuk sebuah yayasan keturunan Portugis Yayasan Putra Tugu yang memperoleh Rp. 1500,- (seribu lima ratus rupiah) pada tahun 1971. Hasil itu pun harus dibagi ke pada pekerja yang membantunya.

Bahan utama alat musik keroncong Tugu buatannya adalah batang pohon kenanga atau waru. Disebut alat musik keroncong Tugu, karena berdawai 5. Menurut Leonidas, kalau berdawai 4 baru disebut ukulele.

Biasanya untuk memperoleh bahan baku alat musik buatannya, Leonidas harus membeli sebuah pohon kenanga atau waru. Setelah ditebang, dipotong dalam bentuk kotak, baru dibentuk badan alat musiknya. Sementara lehernya dibentuk dari potongan kayu yang memanjang.

Seperti juga Prana, Leonidas mula-mula menjual hasil keranjing tangannya itu ke toko Thio Tek Hong dan satu lagi sebuah toko alat musik di Senen. Tapi pada tahin 1971 kedua toko itu tidak lagi menjual alat musik, sehingga Leonidas hanya mengandalkan pesanan, yang tentunya saja jumlahnya sangat sedikit, Bahkan sering berbulan-bulan tidak ada pesanan sama sekali.

Selain membuat ukulele, warga Tugu juga memiliki kebiasaan membuat kue-kue seperti dodol dan kue lapis. Pada masa lalu belum ada penjual kue seperti sekarang, sehingga tiap rumah tangga harus membuat kue sendiri. Kue buatan sendiri itu disuguhkan pada tamu. Kue itu mewakili tingkat citra rasa pembuatnya, mewakili semacam prestise marga.

Lagu keroncong Portugis pertama-tama yang juga cukup populer adalah Prounga khusus untuk penyanyi solo sesuai dengan artinya tunggal. Lagu ini sangat disenangi penduduk Kampung Bandan, hingga menyebutnyaKrontjong Bandan

Kampung Bandan yang sekarang terletak di Kecamatan Pademangan, Tanjung Priok Jakarta Utara, adalah tempat permukiman yang berpenduduk padat dan lingkungannya kumuh. Kampung Bandan dalam sejarahnya juga merupakan lokasi penampungan budak-budak dari pulau Banda, Maluku pada jaman pemerintah penjajah Belanda. Tahun 1621, Gubernur Jenderal J P Coen menaklukkan Pulau Banda, tawanannya berupa budak-budak dibawa ke Batavia dan ditempatkan di Kampung Brandan. Perlakukan budak-budak di sini lebih keras dibanding di Tugu.

Sampai tahun 1633, budak-budak itu masih dirantai. Tahun 1682 mereka mencoba memberontak melawan VOC di Marunda. Namun, apalah artinya pemberontakan mereka melawan VOC yang saat itu sudah mempunyai persenjataan lengkap. Konsekuensi dari pemberontakan yang gagal itu, sebagian budak Kampung Bandan dikirim ke Srilangka yang juga menjadi daerah kekuasaan Belanda.

Waktu itu Pelabuhan Pasar Ikan merupakan pusat perdagangan yang sangat ramai. Di sanalah budak-budak dari Kampung Bandan dipekerjakan. Seiring dengan perkembangan perdagangan di Batavia, pemerintah Hindia Belanda membangun pelabuhan baru di Tanjung Priok. Untuk menghubungkan kedua pelabuhan yang berjarak sekitar delapan kilometer itu, Belanda membangun rel kereta api, lengkap dengan stasiunnya di Kampung Bandan, yang sekarang menjadi stasiun kereta-api Tanjung Priok.

Sementara itu di Kampung Tugu kalangan generasi yang berusaha melestarikan musik keroncong sampai dengan tahun 2006 tetap masih ada. Antara lain, Samuel Quiko yang berusia 67 tahun, dia mendirikan grup musik keroncong Cafrinho Tugu, yang sebelumnya dijalankan oleh kakaknya, Yakobus Quiko. Kelompok Cafrinho Tugu maupun Krontjong Toegoe tidak hanya melakukan pementasan di tanah air, bahkan telah beberapa kali mewakili delegasi kesenian Betawi DKI Jakarta di Tong Tong Fair, Den Haag, negeri Belanda.

Dibanding Krontjong Toegoe yang mengutamakan pemain dari kalangan orang Kampung Tugu keturunan Portugis, Cafrinho Tugu lebih terbuka bagi orang luar sehingga anggotanya pun jauh lebih banyak, yang hinggabtahun 2005 berjumlah sekitar 40 orang yang terdiri dari pemusik dan pengurus.

Manajemen Cafrinho juga menganut cara modern. Mereka memiliki beberapa kelompok, sehingga kalau ada yang mengundang bermain pada saat bersamaan bisa terlayani. Tapi usaha mereka untuk untuk bertahan hidup memang tidak mudah kali. Kalau pun menerima sebuah order, bisa jadi harus bermain untuk amal, bukan komersial. Kalau pun komersial, bayaran yang diminta harus realistis. Bisa dalam arti murah atau sekedarnya.

Sebelum proklamasi kemerdekaan setiap 31 Agustus, warga Tugu masa lalu menyelenggarakan pesta untuk merayakan ulang tahun ratu Belanda waktu itu, Wilhelmina. Mereka mengadakan pertandingan ketepatan menembak di lapangan terbuka. Hampir setiap kegiatan itu, mereka menyajikan musik keroncong sebagai hiburan dan dikunjungi warga sekitar termasuk warga Kemayoran. Dari berbagai kegiatan itu dapat dipastikan keroncong merambah ke kawasan lain, antara lain menjadi asal-usul munculnya keroncong di Kemayoran.

Keroncong Tugu memang menjadi inspirasi lahirnya lagu Krontjong Kemajoran sekitar tahun 1918 - 1919 yang konon diciptakan seorang keturunan Indo Belanda, tapi namanya tidak diketahui hingga sampai sekarang initial penciptanya ditulis N.N. Sinyo-sinyo Belanda pada masa itu mencoba memasukkan unsur jazz, yang menghasilkan keroncong dengan bunyi crong… crong…crong yang lebih improvisatif dan menambah variasi akord.

Dari Tugu pula keroncong terus merambah ke berbagai daerah di tanah air. A.TH. Manusama menyebutkan bahwa lagu-lagu Nina Bobok, Terang Bulan, O Ina Ni Keke, Kole Kole, Rasa Sajang Kene, Rasa Sajange, Burung Kakatua, Patokaan, Hoe Tjintjin, Ajun Ajun adalah lagu-lagu kroncong populer lainnya pada masa itu. Menilik judul lagu-lagu itu, berasal dari luar pulau Jawa seperti Sulawesi Utara dan Maluku.

Sementara dari Padang, Sumatra Barat, muncul lagu Pulau Pandan gubahan S.M. Mochtar, pianis orkes studio Nirom di Surabaya. Lagu ini di Sumatera terkenal sebagai lagu komidi stambul, yang berkeliling Indonesia tahun 1900-an, mengiringi adegan-adegan cerita yang menguras air mata. Cengkok, gregel, dan embatnya mengesankan gaya lagu Melayu. Pada masa inilah perkembangan keroncong melahirkan lagu jenis stambul.

Pada tahun 1920-an, musik kroncong terbatas dan hanya beraksi di lorong-lorong kampung dalam acara khitanan dan perkawinan. Baru pada tahun 1930-an ruang gerak kroncong lebih leluasa, hingga bisa tampil dijaarmarket (pasar malam) di Surabaya. Kemudian di Pasar Gambir, Jakarta, yang menyelenggarakan krontjong concours(festival keroncong).

Pasar Gambir memang dikenal sebagai penyelenggar krontjong concour, perlombaan atau sekarang populer dengan istilah festival, setiap tahun untuk melahirkan juara keroncong dari pulau Jawa. Resminya kejuaraan itu dinamai Krontjong Vaandel Concours. Digunakan kata vaandel, karena grup keroncong yang menjadi peserta harus membawa vaandel yang terbuat dari kain bludru hitam dan tulisan nama grupnya berwarna emas, misalnya Lief Java.

Karena waktu itu belum ada mikropon, seorang penyanyi harus memiliki suara yang lantang supaya bisa terdengar oleh para juri dan penonton. Penyanyi-penyanyi yang setiap tahun bertarung di Pasar Gambir antara lain adalah Van der Mull,Leo Spell, Louis Koch, Bram Atjeh, Paulus Hitam, Pung, Waha, S. Abdullah, Amat, Sulami, Miss Tuminah, Djajadi, Sumarno, Missi Moor, Siti Hapsah, John Isegar dan lain-lain.

Pada suatu ketika, Samidjo dari Bandung yang sama sekali belum dikenal memimpin orkes keroncongnya membawakan lagu-lagu dari film musik berdurasi 76 menit berjudul Pagan Love Song, yang diproduksi tahun 1950 dan dibintangi Esther Williams, Howard Keel. Film ini disutradarai Robert Alton.

Hebatnya Samidjo dan orkesnya berhasil menjadi juara pertama. Komunitas musik keroncong waktu itu mengatakan kemenangan itu bukan karena kualitas orkes dan penyanyinya, melainkan disebabkan lagu-lagu yang dibawakan lain daripada yang lain dan yang pasti, enak didengar atau menurut istilah sekarang, ngepop.

Meskipun kemudian langkah Samidjo itu diikuti orkes-orkes keroncong lainnya dengan membawakan lagu-lagu dari film Hollywood, bagi dunia musik keroncong waktu itu dianggap sebuah kemunduran. Yang pasti Pasar Gambir tetap dikenang sebagai wadah yang banyak melahirkan penyanyi dan orkes keroncong handal pada masa itu.

Tidak sedikit penyanyi-penyanyi pernah beraksi di Pasar Gambir, kemudian masuk studio rekaman perusahaan piringan hitam His Master Voice, Odeon, Beka, Columbia, Philips dan Kenari merekam lagu-lagu keroncong Indonesia dalam bentuk piringan hitam.

Setelah dipiringhitamkan, populerlah sejumlah lagu seperti: Taman Bunga Melati, Tjintanja Satu Ibu, Fadjar Blues, Tjuatja Terang Rumba, Nasib Besar, Sorha Dunia, Saja dan Kawan, Djudi Tjelaka, Laste Stambul, Tandjung Kandis, Oh, Ibu, Tjinta Menangkan Harta, Penghidupan dan Njanjian, Kopi Susu, Kerontjong Air Laut, Si Djantung Hati, Djalan Ke Titi Gantung, Oh Permata Yang Indah, Ratapannja Satu Isteri, Terang Rumba, Kerontjong Matahari, Kerontjong Terang Bulan di Pesisir, Stambil The Rail dan Kerontjong Balero.

Pada masa ini populer penyanyi tangguh keroncong seperti S. Abdullah, Miss Ellis, Miss Tuminah, Miss Jacoba, Miss Sopia dan lain-lainnya. Penyanyi perempuan memang ditambah kata miss di depan namanya. Sementara istilah buaja-krontjong, diberikan ke pada penyanyi pria.

Buaja-buaja-krontjong yang terkenal antara lain adalah Kusbini asal Yogyakarta yang dinobatkan di Surabaya dan Tan Tjeng Bok di Jakarta. Selain penyanyi, Tan Tjeng Bok juga dikenal sebagai pemain sandiwara. Sementara dari Solo, sampai sekarang masih ada yang merasa sebagai buaja-krontjong. Mereka adalah Anton Danu Saputro yang dalam usianya yang 74 masih memimpin grup musiknya, Orkes Keroncong Asli Sahabat yang beranggota 18 pemusik, manggung di Pendopo Taman Budaya Surakarta, 14 September 2004. Satu lagi Proto R dengan orkes keroncongnya OK Pusaka Bintang.

Dalam inovasi pemusik keroncong Solo memang lebih unggul. Sekitar tahun 1940 - 1950, penggunaan cello mengimitasikan suara kendangan atau contrabas untuk suara gong masih merupakan hal yang asing bagi pemusik keroncong di Jakarta, yang waktu itu sebuah orkes cendrung menggunakan banyak gitar dan memainkannya dengan cara mengocok atau meroffel. Bahkan ada yang menghadirkan 10 orang pemain gitar, sehingga di atas panggung kelihatan begitu gagah.

Perkembangan musik keroncong di Solo sudah berlangsung sejak tahun 1930-an. Muncul orkes-orkes keroncong besar dan kecil. Orkes keroncong besar waktu itu antara lain adalah Monte Carlo dan Kembang Kacang, di mana Gesang mengembangkan dirinya sebagai penyanyi dengan suara yang khas, karena dianggap memiliki ciri sendiri dibanding penyanyi keroncong lainnya. Tahun 1950-an populer langgam Jawa oleh Orkes Keroncong Irama Langgam dan Orkes Keroncong Bintang Soerakarta.

Seni musik Indonesia yang bersistim pentatonik (sistim timur) seperti gamelan salendro dan pelog serta diatonis(sistim barat), menjadi dasar utama perkembangan musk keroncong. Cara menyanyikan lagu kroncong berciri khas dengan cengkok, greget dan embat, yang mengesankan nyanyian (tembang) dengan iringan khas slendro / pelog, bergaya Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Bali.

Ciri khas keroncong asli selain bentuk, gayanya terpengaruh permainan gendang dalam gamelan, juga kotekandan gedugan dari musik para petani ketika mengetam padi atau permainan kotekan peronda malam di desa, dengan tong-tong yang dibuat dari seruas bambu.

Sementara itu pada tahun 1960, Brigadir Jenderal Pirngadi, pimpinan orkes kroncong Tetap Segar, memodernisasi berbagai jenis lagu kroncong yang kemudian disebut keroncong beat. Orkes yang pada kenyataannya membuat keroncong tetap segar ini merekam berbagai jenis lagu dalam piringan hitam dan kaset. Orkes keroncong Tetap Segar dalam usahanya mempopulerkan di dalam dan luar negeri juga melakukan penampilan di berbagai negara.

Keroncong beat bisa dikatakan terasa hanya pada orkes yang digunakan untuk mengiringi lagu. Lagu yang bukan keroncong pun bisa dikeroncongkan. Jadi musiknya kroncong, tapi lagunya bisa dari mana saja, termasuk lagu-lagu pop barat. Kroncong beat disukai para pemusik, karena mudah memainkannya dan yang paling penting sangat digemari masyarakat. Orkes keroncong Tetap Segar termasuk berani dan yang paling penting, keroncong beatnya dianggap sebagai inovasi yang positif bagi perkembangan musik keroncong.

IKI driji apa dengkul...?, adalah sepotong syair dari lagu Jawa yang diciptakan dan dibawakan oleh Manthuos, yang sedang sangat populer akhir tahun 1996 dan awal 1997. Sangat digemari pecinta lagu-lagu langgam di tanah air.

Lagu itu menceritakan kisah asmara sepasang anak manusia, tetapi potongan syair itu memiliki nuansa makna berganda.

Karena bisa juga menggambarkan betapa manusia meninggalkan nuraninya, tak perduli, sehinga tidak bisa membedakan lagi mana jari atau lutut. Driji di dalam potongan syair itu berarti jari, sedang dengkul adalah lutut.

Manthous bersama Grup Campursari Maju Lancar Gunungkidul waktu itu menjadi kiblat para pencinta lagu-lagu langgam Jawa. Musik garapannya tidak sekedar memadukan musik tradisi Jawa, gamelan, dengan alat musik diatonis gitar, keyboard, dia membuat padanan nada dengan skala diatonis, dengan cara menyetel seluruh gamelan.

Garapannya menampilkan kekhasan campursari dengan langgam-langgam Jawa yang sudah ada. Ada suasana rock, reggae, gambang kromong, dan lainnya. Ada juga tembang Jawa murni seperti Kutut Manggung, atauBowo Asmorondono, dengan gamelan yang diwarnai keybord dan gitar bas.

Bersama grup musik yang berdiri tahun 1993 dan beranggotakan saudara atau rekan sedaerah di Playen, Gunungkidul, Yogyakarta itu, Manthous menyelesaikan sejumlah volume rekaman di Semarang. Omzet penjualan mencapai 50.000 kaset setiap volume, tertinggi dibanding kaset langgam atau keroncong umumnya pada tahun-tahun pertengahan 1990-an.

Di samping menyanyi sendiri dalam kegiatan rekaman itu Manthuos juga menampilkan suara penyanyi Sulasmi dari Sragen, Minul dari Gunungkidul, dan Sunyahni dari Karanganyar. Beberapa lagunya yang populer di antaranya Anting-anting, Nyidamsari, Gandrung, dan Kutut Manggung.

Gunungkidul khususnya Desa Playen yang tandus terkait dengan dua orang ternama. Playen adalah tempat H Budiharjo bersama pasukannya mengumandangkan kemerdekaan Indonesia lewat pemancar radio. Yang kedua, Playen adalah tempat kelahiran Manthous.

Tetapi orang-orang di Playen hanya tahu bahwa Manthous adalah pemain Campursari Gunungkidul. Tidak ada orang Gunungkidul yang menyangka bahwa syair gethuk asale saka tela yang tiap hari mereka dengar dan nyanyikan berasal dari sebuah lagu karya Manthous.

Tahun 1966 ketika berumur 16 tahun, Manthous memberanikan diri ke Jakarta. Pilihan utamanya adalah hidup ngamen, yang ia anggap mewakili bakatnya. Tapi tahun 1969 dia sudah bergabung dengan orkes keroncong Bintang Jakarta pimpin oleh Budiman BJ.

Tahun 1976 Manthous yang piawai bermain bas mendirikan grup band Bieb Blues berciri funky rock bersama Bieb anak Benyamin S, yang bertahan sampai tahun 1980. Kemudian Manthous bergabung dengan Idris Sardi, dalam grup Gambang Kromong Benyamin S. bahkan sebelumnya pernah menjadi pengiring Bing Slamet ketika tampil melawak dalam Grup Kwartet Jaya.

Inilah yang membuat Manthous menguasai aliran musik apa pun. Bahkan dalam khazanah dangdut dia mampu mencipta trik-trik permainan bas, yang ditiru oleh musisi dangdut sekarang.

Setelah itu dia kembali ke Gunungkidul Dari sanalah dia mengurus royalti atau honor lagu-lagunya. Urusan dengan Jakarta cukup lewat telepon. Pengalaman di Jakarta yang menghabiskan lebih dari separuh usianya, menyebabkan Manthous punya posisi kuat dalam tawar-menawar.

Semua itu antara lain berkat petuah Bing Slamet, yang pernah berpesan ke padanya, kerja dulu duwit akan datang sendiri. Disamping, tentunya, keuletannya untuk terus belajar serta berinovasi dalam mengembangkan berbagai macam musik dengan keroncong, dasar musiknya yang mula-mula.
Read more

Delete this element to display blogger navbar

 
© Instrumental | Design by Blog template in collaboration with Concert Tickets, and Menopause symptoms
Powered by Blogger